Oleh : Mira Ummu Tegar (Aktivis Muslimah Balikpapan)
Ratusan mahasiswa dari Aliansi Mahasiswa Kaltim Menggugat mengelar aksi demontrasi di depan kantor DPRD Provinsi Kaltim, Jalan Teuku Umar, Sungai Kunjang, Senin (24/3) sore. Mereka menolak program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah dengan alasan kebijakan tersebut tidak tepat sasaran dan bukan solusi utama bagi permasalahan mahasiswa saat ini.
Perwakilan mahasiswa secara bergantian menyampaikan pendapat mereka, salah satunya Rudi (22), menyatakan program tersebut hanya bersifat populis dan tidak menyentuh persoalan utama yang dihadapi mahasiswa. “Kami tidak menolak bantuan, tetapi yang kami butuhkan adalah pendidikan yang lebih terjangkau bukan sekedar makanan gratis. Banyak mahasiswa yang kesulitan membayar UKT (Uang Kuliah Tunggal) dan biaya hidup,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain menolak program MBG, mahasiswa juga menyoroti program pendidikan gratis “Gratis Poll” yang dicanangkan Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim terpilih, Rudy Mas’ud-Seno Aji. Mereka meragukan realisasi program tersebut mengingat pemerintah pusat telah menetapkan kebijakan efisiensi hingga pemangkasan anggaran di berbagai sektor. (prokal.co 26/2/2025).
Aksi demontrasi mahasiswa patut diapresiasi, apalagi melihat kondisi masyarakat yang dihimpit berbagai kesulitan, ketimpangan, ketidakadilan, bahkan diskriminasi. Hal ini bak oase di tengah gurun padang pasir, apa yang disuarakan mahasiswa merupakan perasaan yang sama yang dirasakan masyarakat pada umumnya.
Namun sayangnya aksi ini masih pada perkara teknis saja belum menyentuh akar persoalan, yakni persoalan sistem. Sistem kapitalisme sekuler yang menjadi kepemimpinan pemerintahan saat ini, merupakan biang dari semua persoalan yang dihadapi umat saat ini termasuk mahasiswa.
Sistem kapitalisme sekuler yang memisahkan agama dari aturan kehidupan, dan memberikan ruang kekuasaan bagi manusia untuk membuat aturan untuk dirinya telah nyata menimbulkan banyak kerusakan dan kedzoliman pada kehidupan manusia. Disinilah letak kerusakan besar bagi manusia. Bagaimana mungkin manusia yang serba terbatas, dan dia adalah mahluk yang lemah dan tempatnya khilaf dan salah kemudian diberi kekuasaan dan kedaulatan membuat aturan/hukum, maka tentulah aturan yang dibuat akan cenderung kepadanya dan kelompoknya. Tengoklah saat ini bagaimana konstitusi dengan mudahnya direvisi sesuai kehendak para elit politik penguasa dan pengusaha yang sudah berkolaborasi sejak awal pemilu demokrasi. Maka tidak heran kemudian aturan/perundang-undangan yang lahir menguntungkan mereka sendiri, semisal UU minerba dan omnibus law.
Pengurusan dan pelayanan rakyat di sistem kapitalisme sekuler bukanlah fokus utamanya. Sistem ini menempatkan negara hanyalah regulator antara rakyat dan para kapitalis/oligarki. Dan mirisnya justru tak jarang negara menjadi fasilitator kapitalis/
oligarki dalam melancarkan bisnis mereka. Lahirlah politik simbiosis mutualisme diantara mereka, bahkan sering terjadi pula pada sistem ini pengusaha atau para kapitalis/oligarki juga merangkap menjadi penguasa atau pejabat negera.
Maka yang terjadi selanjutnya, rakyatlah yang akan menjadi korban sasaran objek bisnis dan kebijakan negera. Kalau pun ada regulasi yang pro rakyat itu hanya dipermukaan saja. Lihatlah bagaimana program MBG namun di sisi lain negara justru menetapkan kebijakan efisiensi anggaran yang dampaknya semakin menyulitkan rakyat, padahal progam MBG saja belum sepenuhnya dirasakan masyarakat tapi efisiensi anggaran sudah sangat terasa menyengsarakan.
Inilah yang terjadi saat ini dimana pergantian kepemimpinan justru semakin menampakkan sosok populis otorutarianism, seakan pahlawan tapi di sisi lain justru mendzolimi rakyatnya. Masihkah berharap dengan sistem yang sudah sangat jelas tak mampu memberi harapan bagi kesejahteraan dan keadilan ini?
Mari kita bandingkan dengan sistem Islam, dimana Rosulullah Saw sudah mencontohkan dan mempraktekkan kepemimpinan Islam di Madinah. Dalam Islam negara merupakan ra’in yakni pengurus, pelayan dan pelindung rakyatnya. Sebagaimana hadits Rasulullah Saw, “Imam/Khalifah adalah raa’in (pengurus rakyat) dan Ia bertanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya.”(HR. Bukhari).
Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok bagi setiap individu rakyatnya. Dalam hal ini negara bertanggung jawab dalam pemenuhannya. Artinya kebutuhan asasi manusia yakni sandang, pangan, papan serta pendidikan, kesehatan, dan keamanan merupakan hak setiap warga untuk mendapatkannya bahkan secara gratis dan berkualitas.
Terkait pendidikan yang semakin mahal di era saat ini, sebagaimana yang disuarakan para mahasiswa pada aksi demontrasinya, merupakan keniscayaan di sistem kapitalisme liberal karena sistem ini melandaskan semua aktivitasnya pada nilai untung rugi, semua sektor kehidupan di sistem ini adalah objek kapitalisasi tak terkecuali sektor pendidikan.
Berbeda dengan Islam yang memandang pendidikan merupakan kebutuhan pokok komunal bagi setiap individu masyarakat, maka wajib bagi negara menyediakan dan menyelenggarakan secara cuma-cuma dan berkualitas. Dan pentingnya pendidikan dimata Islam tergambar jelas bagaimana Rosulullah Saw membebaskan tawanan pada saat perang Badar dengan syarat mengajarkan baca tulis kepada anak-anak kaum muslim.
Sementara berbicara terkait program MBG, dalam Islam bukanlah sesuatu yang asing, pada masa Rosulullah Saw, para sahabat sering berbagi makanan kepada yang membutuhkan secara gratis. Salah satu peristiwa yang paling terkenal terkait distribusi makanan gratis adalah “Suffah”, dimana Suffah merupakan sebuah tempat di masjid Nabawi yang dihuni oleh kaum muhajirin yang belum memiliki pekerjaan dan penghidupan di Madinah. Makanan yang disajikan pada masa itu terdiri dari bahan-bahan alami seperti roti, kurma, daging dan susu. Kombinasi makanan ini berdasarkan ilmu gizi modern, memberikan asupan gizi yang seimbang. Kurma misalnya kaya akan serat, vitamin, dan mineral, sementara daging menyediakan protein yang penting untuk pertumbuhan, dan susu merupakan sumber kalsium dan vitamin D yang penting untuk kesehatan tulang.
Bentuk perhatian terhadap kesejahteraan pangan ini diwujudkan dalam berbagai inisiatif, baik oleh individu maupun negara, dan di motivasi akan kesadaran keimanan yang kokoh. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Barangsiapa yang kenyang sedangkan tetangganya kelaparan, maka dia bukanlah golonganku.” (HR. Al-Hakim). Sementara negara sebagai ra’in betul-betul memastikan setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan pangannya, bukan hanya sekedar tersedia namun memastikan akan keseimbangan gizinya.
Sungguh di bulan suci Ramadhan ini, saatnya lah meneladani Rasulullah Saw bukan hanya dalam perkara spritual saja, namun meneladani kepemimpinan Rosulullah Saw dalam penerapan Islam secara kaffah di kehidupan bernegara. Wallahu a’lam bishowab.