Oleh: Novi Noor (Pemerhati Masalah Umat)
Pembangunan Bendung Gerak Sungai Telake di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) kembali menjadi sorotan publik. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) PPU, Raup Muin, menekankan pentingnya percepatan pembangunan bendungan ini. Menurutnya, keberadaan Bendungan Telake sangat strategis dalam mewujudkan kedaulatan pangan, khususnya untuk wilayah Kalimantan Timur, termasuk Kabupaten PPU dan Kabupaten Paser.
Lebih jauh, bendungan ini juga diharapkan mampu menopang kebutuhan pangan bagi Ibu Kota Nusantara (IKN). Namun, benarkah pembangunan bendungan saja cukup untuk mewujudkan ketahanan pangan?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tantangan dan Permasalahan Nyata di Lapangan
Faktanya, rencana pembangunan Bendungan Telake ini bukanlah hal baru. Perencanaannya telah digagas sejak lama, namun hingga kini masih menemui berbagai kendala. Mulai dari kondisi lingkungan di sekitar bendungan hingga persoalan pembiayaan yang sangat tinggi. Ini semakin diperparah dengan kondisi ekonomi negara yang tengah mengalami efisiensi anggaran di hampir semua sektor, termasuk sektor pertanian dan pangan.
Memang, pembangunan bendungan sebagai infrastruktur pengairan tentu sangat penting dalam mendukung produktivitas pertanian. Namun, langkah ini belum menyentuh akar persoalan mendasar dalam sektor pertanian kita. Persoalan ketahanan pangan bukan hanya perkara ketersediaan air. Ada banyak faktor penting lain yang seringkali diabaikan.
Misalnya, minimnya ketersediaan benih unggul untuk petani, sulitnya akses pupuk subsidi, keterbatasan sumber daya manusia di kalangan petani, hingga kebijakan pertanian yang kerap berjalan sendiri tanpa dukungan sistemik dari sektor lain. Ini menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan bendungan semata tidak cukup untuk menjawab kompleksitas persoalan ketahanan pangan.
Sistem Pertanian Sekuler, Hambatan Terbesar
Lebih jauh, selama sistem politik pertanian masih berjalan dalam bingkai sekulerisme di mana pengaturan bidang pertanian hanya dipandang sebagai program teknis semata, terpisah dari sistem kehidupan yang lain maka wacana mewujudkan kedaulatan pangan akan sulit tercapai.
Sistem saat ini cenderung menempatkan negara hanya sebagai regulator, bukan pelayan sejati bagi kebutuhan rakyat. Orientasi pembangunan lebih banyak mengejar pertumbuhan ekonomi, namun abai terhadap kesejahteraan petani sebagai pelaku utama produksi pangan. Kebijakan pangan kerap tidak integratif, dan tidak dibangun di atas paradigma bahwa kesejahteraan rakyat dan ketahanan pangan adalah tanggung jawab negara yang akan dimintai pertanggungjawaban, tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat.
Solusi Islam dalam Pengelolaan Pangan dan Pertanian
Islam mengajarkan bahwa penguasa atau negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya, termasuk pangan, sandang, dan papan. Rasulullah SAW bersabda:
“Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Selain itu, pengelolaan sumber daya alam seperti air, tanah, dan energi adalah kepemilikan umum, yang tidak boleh dikuasai oleh individu atau korporasi demi keuntungan pribadi. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud)
Bahkan dalam Al-Qur’an, Allah SWT menegaskan bahwa bumi ini dan segala isinya adalah milik Allah yang harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan seluruh manusia, bukan untuk segelintir orang saja:
“Dia-lah yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untuk kalian…” (QS. Al-Baqarah: 29)
Karenanya, pembangunan Bendungan Telake memang patut diapresiasi sebagai salah satu langkah mendukung ketahanan pangan. Namun, perlu disadari bahwa kedaulatan pangan tidak cukup hanya dengan pembangunan infrastruktur fisik. Harus ada perombakan sistemik dalam politik pertanian, di mana pengelolaan pangan bukan hanya soal proyek, tetapi soal keberpihakan kepada petani dan rakyat sebagai prioritas utama.
Penutup
Ketahanan pangan hanya dapat terwujud bila negara hadir sepenuhnya sebagai pelayan rakyat, dengan sistem yang terintegrasi, menyeluruh, dan berpihak pada kepentingan umat — bukan sekadar proyek infrastruktur semata. Selama sistem pengelolaan pangan dan pertanian masih berada dalam cengkraman kapitalisme sekuler, maka problem ketahanan pangan akan terus berulang.
Islam menawarkan solusi menyeluruh dan mendasar. Negara hadir sebagai pelayan dan penanggung jawab kebutuhan rakyat, termasuk kebutuhan pangan. Ketahanan pangan hanya bisa terwujud jika negara mengelola sumber daya alam dengan paradigma syariah bahwa seluruh kekayaan bumi adalah amanah Allah untuk menyejahterakan manusia, bukan untuk dikomersialisasikan.
Dengan pengelolaan berbasis syariat, kekayaan bumi yang dikaruniakan Allah ini pasti cukup untuk seluruh manusia. Gratis, berkualitas, dan rakyat tidak perlu lagi merasakan kesulitan akses pangan, apalagi hanya bergantung pada proyek bendungan semata.